Perkembangan internet belakangan ini telah banyak mengubah pola pikir manusia, bahkan pola pikir tersebut dituntut untuk lebih canggih lagi dalam setiap waktunya. Hasil dari perkembangan teknologi internet pun tidak terlepas dari pola dasar kehidupan manusia yang merupakan makhluk sosial. Hal tersebut mendorong munculnya situs jejaring sosial yang melahirkan berbagai social media yang menawarkan komunikasi dan interaksi yang ringkas, mudah, cepat dan hemat biaya.
Ada banyak sekali inovator yang berkreasi melahirkan berbagai social media,
sebut saja Facebook, Twitter, Path, Instagram, Linkedln, Tumblr dan masih
banyak lagi. Konsep adanya social media untuk mempermudah penggunanya dalam
berinteraksi tanpa memikirkan jarak dan waktu memang sudah hadir sejak lama.
Lewat social media kita bisa memiliki banyak teman baru, berinteraksi kembali
dengan teman lama, atau update informasi. Semua kegiatan tersebut memang
sah-sah saja, namun tanpa disadari penggunaan social media yang tadinya
dianggap lumrah bergeser menjadi tidak wajar.
Coba kita
periksa aktivitas kita dalam menggunakan social media mulai dari bangun tidur
sampai tidur kembali. Dalam setiap waktunya kita tidak bisa terlepas dari
penggunaan social media. Apapun dituangkan di sana, mulai dari setiap kegiatan
yang kita kerjakan sampai pada urusan meluapkan perasaan. Jika kebablasan
social media, maka tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kecanduan.
Bahkan sebuah penelitian University of Chicago Booth School of Bussiness yang
melibatkan 250 responden menyebutkan bahwa kebiasaan mengecek situs jejaring
sosial dan membuat status di sana lebih sulit disembuhkan daripada kecanduan
pada alkohol atau rokok. Memang, tidak ada kategori spesifik yang menyebutkan
seseorang telah kecanduan social media. Namun, ada ciri-ciri tertentu yang bisa
dikenali, seperti sering mengakses social media tanpa memikirkan ruang dan
waktu, kapan, di mana dan sedang apa. Ketika timbul perasaan tertentu, seperti
marah, sedih, emosi akan secara spontan meluapkankannya di social media. Merasa
tertekan ketika tiba-tiba ada gangguan jaringan sehingga tidak dapat mengakses
social media.
Selain
ciri-ciri tersebut di atas, ada beberapa dampak lainnya yang timbul ketika kita
terlalu sering menggunakan social media. Berikut 4 fakta menarik terlalu sering
menggunakan social media:
· Kecanduan Perilaku Seperti Judi Seseorang
yang terlalu sering menggunakan social media telah mengaktifkan bagian otak
yang terkait dengan imbalan. Hal ini seperti penjudi yang mendapatkan aliran
perasaan senang ketika mereka menang. Ada kepuasan tertentu yang dirasakan
ketika seseorang memposting sesuatu atau update status yang kemudian mendapat
banyak ”like” atau banyak komentar. Hal ini dijelaskan oleh Dr. Michael Bengston,
professor kepala bidang psikiatri anak dan remaja di University of South
Florida yang menyatakan bahwa kecanduan tidak harus selalu melibatkan obat atau
alkohol, tapi juga bisa kecanduan perilaku seperti judi.
· Gangguan Psikologis Seseorang
yang terlalu sering menggunakan social media sampai timbul rasa candu, memiliki
resiko lebih besar terkena gangguan psikologis. Hal ini berhubungan dengan
hormon dopamine yang merupakan senyawa kimia yang ada dalam tubuh yang dapat
merangsang rasa suka, gembira, atau ketenangan. Ketika seseorang mengakses
social media dan mendapati banyak notifikasi di dalamnya, maka secara otomatis
hormon dopamine akan bereaksi. Jika hal yang diinginkannya terpenuhi, maka akan
timbul perasaan senang, namun jika tidak maka sebaliknya dia akan merasa resah.
Karena sudah memasuki tahap kecanduan, maka perasaan yang dirasakan pun
tentunya akan berlebihan baik itu senang, sedih, marah atau kesal. Bahkan
menurut para pakar, apabila tingkat penggunaan social media sudah pada tahap
addict, maka akan sulit untuk menghilangkan tingkat kecanduan tersebut,
sehingga dibutuhkan waktu dan proses yang cukup lama untuk menyembuhkannya.
· Rendahnya Tingkat Tindakan Sosial Seperti
kita ketahui, kita bisa mengakses social media di mana pun dan kapan pun, dari
media apa pun entah itu ponsel, tablet, netbook atau laptop, sehingga terkadang
kita lupa dengan kondisi di sekeliling kita. Mengapa bisa terjadi demikian?
Karena kita telah merasa kebutuhan yang diinginkan sudah terpenuhi, yakni
menikmati kegiatan yang dilakukan di social media. Hal ini dibuktikan dalam
sebuah penelitian di University Maryland yang menemukan bahwa setelah
mennggunakan ponsel, keinginan seseorang untuk ambil bagian dalam tindakan
sosial seperti membantu orang lain, cenderung berkurang. Prof. Rosellina
Ferraro yang melakukan penelitian mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai
kebutuhan dasar untuk berhubungan dengan orang lain. Tetapi, ketika kebutuhan
itu sudah terpenuhi, seperti sedang menggunakan ponsel, maka secara alami rasa
empati dan keterikatan dengan sekitarnya ikut menurun. Hal ini diperkuat dengan
sebuah studi yang dilakukan peneliti dari Kellog School of Management di
University Northwestern yang menemukan hasil penelitian hampir mirip. Hasil
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang yang sudah memiliki ikatan
yang kuat pada lingkaran sosialnya cenderung meremehkan dan menganggap kelompok
lain dengan tidak baik. Adam Waytz sebagai peneliti mengatakan bahwa ikatan
sosial mirip dengan makan. Ketika lapar, kita akan mencari makanan. Ketika
merasa kesepian, kita akan mencari ikatan sosial. Saat ikatan sosial itu
menguat, secara sosial kita akan merasa “kenyang” dan kehilangan selera untuk
mencari teman lagi dan memperlakukannya secara kurang layak. Begitu pun dalam
kegiatan mengakses social media, jika terlalu sering, tidak menutup kemungkinan
kita menjadi tidak terlalu peduli dengan sosialisasi di kehidupan nyata, karena
kita sudah merasa puas dengan berinteraksi di social media.
· Gejala Gangguan Mental
Salah satu kebiasaan baru yang
dilakukan masyarakat pengguna social media adalah memposting berbagai kegiatan
yang dilakukan di dalamnya, seperti memposting foto-foto ketika mengunjungi
tempat tertentu, bahkan mereka rela mengurangi menikmati tempat yang dikunjungi
untuk sekedar meng-upload foto terlebih dulu, belum lagi jika ada komentar
masuk tentu saja ada keinginan untuk membalas komentar tersebut. Selain itu,
yang sering kita lihat adalah memposting makanan sebelum menikmatinya. Lalu,
apa hubungannya memposting makanan di social media dengan gejala gangguan
mental? Ketika kita memposting banyak makanan di social media lalu ada banyak
komentar yang masuk, di sanalah timbul keinginan untuk terus memposting
makanan, bukan menyantapnya. Obsesi untuk terus mengunggah makanan dan minuman
daripada menyantapnya, itu termasuk pada gejala gangguan mental. Kecenderungan
seperti ini diungkapkan oleh Dr. Valerie Taylor, seorang psikiater dari Woman
College Hospital, University of Toronto, Kanada. Beberapa restoran di New York
bahkan menerapkan peraturan tidak boleh memfoto makanan dan mengungggahknya di
social media. Salah satunya restoran milik Chef Michelin, David Bouley. Ia
melarang para pelanggannya untuk mengambil foto makanan dan minuman yang telah
disajikan. Menurutnya, makanan yang disajikan harus segera dinikmati dan
aktivitas mengambil gambar bisa mengganggu pelanggan lain.
Itulah 4
fakta menarik terlalu sering menggunakan social media. Sudah selayaknya kita
menggunakan fasilitas teknologi yang ada dengan bijak. Gunakan apa yang kita
butuhkan, bukan yang kita inginkan, karena keinginan akan terus meningkat.
Apabila tidak dapat dikendalikan, maka yang timbul adalah kecanduan yang justru
malah merugikan.
0 komentar:
Posting Komentar